Ketiga hal ini, yaitu deterrence, defense dan compliance, merupakan upaya selain aliansi yang dilakukan oleh aktor negara dalam menciptakan suatu keseimbangan yang masih terkait dengan adanya sebuah balance of power.
Sebelumnya, seperti telah diketahui bahwa balance of power merupakan suatu keadaan dimana keseimbangan kekuasaan antara negara-negara benar-benar dalam keadaan yang sejajar. Sehingga dominasi dari negara yang memiliki power lebih besar bisa dicegah sekaligus juga dapat menciptakan suatu perdamaian serta dapat melindungi satu bagian masyarakat terhadap ketidakadilan yang mungkin dialaminya dari sebuah hegemoni negara yang super power. Adanya ketiga upaya diatas merupakan bagian dari sebuah upaya balance of power yang juga terkait dengan adanya suatu hegemonic stability yaitu suatu keadaan atabil atau stabilitas yang terpelihara melalui hegemon, disini balance of power dan hegemonic stability saling berkaitan dengan tujuannya yaitu tercapainya perdamaian dan stabilitas dan hal itu diciptakan melalui usaha deterrence, defense dan compliance.
Strategic deterrence merupakan sebuah strategi usaha pencegahan meningkatnya sebuah negara memiliki potensi untuk menjadi negara super power baru. Terdapat usaha untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak yang lain, maksudnya adalah mencegah agar pihak lain tidak ikut-ikutan dan usaha strategi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya permusuhan secara terbuka serta terdapat usaha untuk mengatasi ancaman-ancaman yang didapat dari negara lain. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi perlindungan. Para aktor negara yang terkait melakukan perlindungan tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga target diluar batas wilayah pertahanan lawan untuk mencegah serangan dalam aliansi atau wilayah mereka. Salah satu contoh strategi ini adalah dibentuknya NATO (North Atlantic Treaty Organization) oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat bertujuan memperbesar dan menyebarkan kekuatan atau hegemoninya agar bisa membalas atau merespon tindakan Uni Soviet dengan reaksi tindakan yang memiliki level dan intensitas yang sama. Akan tetapi ternyata yang terjadi adanya kondisi itu malah membuat militer Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin berkembang bukan malah sebagai sebuah tindakan pencegahan.
Asumsi dasar yang mendasari lahirnya konsep strategic deterrence adalah perang dingin, dimana negara-negara yang terlibat konflik beranggapan bahwa strategi nuklir merupakan senjata yang paling efektif dalam usaha pencegahan terjadinya perang antara blok barat dan timur.
Selanjutnya adalah konsep military defense dimana konsep ini merupakan konsep yang umum, terdapat konflik ataupun tidak, pertahanan militer merupakan suatu kebutuhan yang dimiliki oleh setiap negara. Defense dilakukan oleh suatu negara untuk mencegah lawan yang sudah memiliki kekuatan yang cukup besar untuk dapat lebih memperbesar lagi kekuatannya sehingga melebihi kekuatan negaranya. Sehingga muncul kekhawatiran terhadap sebuah dominasi baru lawan yang akan menggantikan dominasi atau posisi yang dimiliki oleh sebuah negara tersebut. Sebuah bentuk usaha yang dilakukan negara untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negaranya dari negara lain.
Military defense menjadi pilihan jika terjadi suatu konflik, akan tetapi ketika tidak ada konflik sekalipun, tetap menjadi sebuah pilihan karena terkait dengan pertahanan sebuah negara. Salah satu contohnya juga pembentukan NATO dimana terdapat satu poin perjanjian yang menyebutkan bahwa ketika satu negara anggota diserang maka serangan tersebut dianggap sebagai serangan pada seluruh negara anggota. Sebuah bentuk collective defense yang mana bentuk ini merupakan salah satu bentuk perwujudan defense. Bentuk contoh yang lain yaitu dapat terlihat saat ini ketika Amerika Serikat mulai menyadari bahwa China mulai menjadi negara super power yang baru dari sisi ekonomi dan sebagainya.
Kemudian yang terakhir adalah compliance, dimana konsep ini tidak terlepas dari adanya sebuah bentuk compellence. Compellence merupakan suatu usaha yang dilakukan aktor atau negara untuk mengatasi ancaman yang didapatkan dari negara lain, akan tetapi konteks pengertian ini cenderung berlaku bagi negara yang memiliki power atau negara kuat. Mereka melakukan suatu pemaksaan atau sebuah bentuk persuasif terhadap negara lain sehingga lawan mengikuti apa yang diinginkan ataupun tidak diinginkan negara tersebut. Salah satu bentuk contoh adanya compellence ini adalah ketika perang dingin Amerika Serikat menggunakan nuklirnya sebagai senjata yang “memaksa” negara lain untuk melakukan apa yang dikehendakinya.
Dari sebuah konsep compellence ini kemudian muncullah konsep compliance, yaitu suatu pemenuhan. Maksudnya adalah bahwa ketika sebuah negara melakukan compellence (paksaan) terhadap negara lain dan negara lain menuruti atau memenuhi paksaan tersebut maka kondisi itu disebut sebagai suatu bentuk compliance. Saat dimana suatu negara melakukan atau memenuhi apa yang dikehendaki oleh lawan yang melakukan compellence terhadapnya. Tujuan pemenuhan paksaan itupun relatif, tetapi yang pasti hal itu ditujukan agar tercipta suatu keadaan yang lebih baik pada negara tersebut daripada sebuah kehancuran dan juga tentu hal itu merupakan sebuah pilihan untuk menghindari suatu bentuk konflik yang akan membahayakan bagi negara yang mendapatkan compellence tadi.
Menjadi sebuah analisis dan kesimpulan tersendiri yaitu bahwa deterrence, defense dan compliance, ketiganya merupakan suatu bentuk usaha dalam menciptakan suatu stabilitas dan perdamaian terkait dengan balance of power dan hegemonic stability seperti yang telah dijelaskan diatas yang terjadi mulai masa perang dingin. Dimana konflik nuklir yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi sumsi munculnya ketiga upaya tersebut.
Perbedaan yang dapat dilihat antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu saat mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap terjadinya hal itu dan defense saat sebuah negara sadar bahwa power lawan telah mengancam mereka sehingga yang dilakukan adalah mencegah power tersebut bertambah besar.
Terdapat sebuah kontradiksi yang patut dianalisis yaitu apakah adanya ketiga usaha tersebut merupakan suatu bentuk balance of power ataukah menjadi sebuah bentuk balance of terror. Ketika nuklir di Amerika Serikat dialihkan sebagai senjata strategis menjadi sebuah senjata pencegah serangan atau perang, apakah secara rasional hal itu dapat dibenarkan? Tidak menurut saya.
Hal itu malah menyebabkan terjadinya suatu ancaman yang lebih mengancam dan malah menimbulkan suatu keadaan yang lebih parah. Terlihat saat mulai berkembang pemikiran bahwa jika benar terjadi perang nuklir maka tidak akan ada yang selamat, muncul ketakutan-ketakutan baru dimana hal itu menjadikan ketiga hal diatas bukan sebagai sebuah bentuk solusi, ketiganya memang upaya menuju suatu balance of power, suatu stabilitas dan perdamaian, akan tetapi prakteknya, bukan balance of power tetapi keseimbangan teror, dimana disatu pihak menguatkan teror nuklirnya diikuti dipihak lain juga semakin menguatkan terornya menyeimbangi lawannya sehingga tidak pernah terjadi suatu perdamaian tetapi malah terjadi suatu bentuk kekacauan tidak langsung yang justru semakin menakutkan dan mengancam perdamian serta stabilitas internasional.
0 komentar:
Posting Komentar