Pages

Selasa, 24 Mei 2011

INTERDEPENDENSI LIBERALISME dan NEOLIBERALISME

Sejumlah fenomena historis yang mampu menggambarkan kondisi internasional pada saat itu adalah banyaknya perang yang terjadi dengan tindakan yang begitu anarkis, kejam, biadab, hingga mengorbankan sekitar jutaan jiwa. Perang merupakan pengalaman terburuk bagi setiap insan manusia, khususnya tentara-tentara muda yang dikenakan wajib militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan garis depan pihak Barat. Salah satu contoh konkritnya adalah Perang Somme (Perancis) yang terkenal di bulan Juli-Agustus tahun 1916. Bahkan peristiwa tersebut dianggap sebagai “tragedi berdarah”. (Gilbert, 1995:258) Realita yang terjadi di masa lampau ini menimbulkan asumsi publik yang mengatakan bahwa Dunia Barat sudah gila, jutaan orang terbunuh dengan sia-sia. (Gilbert, 1995:257) Namun, hal ini justru menjadi pemicu terjadinya perang berkelanjutan dari Perang Dunia I sampai Perang Dingin. Menanggapi kejadian tak berprikemanusiaan tersebut, maka muncul jawaban idealis yang mampu menjadikannya sebagai teori awal hubungan internasional, yaitu idealisme. Idealisme ini tidak jauh berbeda dengan liberalisme di mana perdamaian abadi dijadikan solusi mutlak terhadap peperangan ataupun kejahatan yang menghantui negara-negara.
Secara historis, teori liberalisme mulai populer dan diperdebatkan pada tahun 1920, masa Amerika Serikat dan Inggris berdiri tegak dengan prinsip-prinsip demokratis. Peperangan hebat yang terjadi ketika itu mampu melatarbelakangi asumsi dasar konsep liberalisme. Konsep ini jauh mengedepankan sikap optimisme dan positivisme dalam dirir seorang manusia. Manusia yang dimaksud tergolong manusia rasional, dan ketika mereka memakai alasan-alasan pada hubungan internasional mereka dapat membentuk organisasi internasional bagi keuntungan semua pihak. Bukti nyata kerjasama yang diadakan adalah berdirinya Liga Bangsa-Bangsa sebagai wadah pemersatu ide-ide perdamaian dunia. Tradisi liberal erat kaitannya dengan prinsip negara liberal modern. Tokoh terkemuka yang mengutarakan kondep ini adalah John Locke, filosof abad 17. Locke melihat adanya potensi besar bagi kemajuan manusia dalam civil society di mana kebebasan atau kepentingan individu sangat dijunjung tinggi. Locke juga berpendapat bahwa negara harus mampu menjamin kebebasan warga negaranya dan mengizinkan mereka hidup bahagia tanpa campur tangan pihak lain. Prinsip ini berhubungan dengan landasan dasar negara konstitusional di mana kesejahteraan dan penghormatan hak warga negara menjadi hal esensial dalam hukum nasional suatu negara.Kaum liberal pun sepakat bahwa dalam jangka panjang, kerjasama berdasarkan kepentingan timbal balik akan berlaku. Hal ini didasari oleh modernisasi yang terus menerus meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan kerjasama. (Zacher dan Matthew, 1995:119) kunsi dasar konsep liberalisme ialah keyakinan terhadap kemajuan. Sebagai penguat argumen ini, Jeremy Bentham, seorang filosof Inggris abad 18 emunculkan istilah hukum internasional sebagai landasan kokoh berdirinya negara liberal modern. Sebagai perluasan, Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 18, berpikir bahwa negara konstitusional yang saling menghargai akan disebut republik  akan memicu terbentuknya perdamaian abadi (perpetual peace) di dunia.(Gallie 1978:8-36) Seiring perkembangan zaman, liberalisme ini telah mengalami peyorasi makna karena sifat dasarnya yang begitu utopis. Penjabaran dari terminologi tersebut akan membagi liberalisme menjadi beberapa aliran:
1. Liberalisme Sosiologis
Hubungan transnasional dianggap kaum liberal sosiologis sebagai aspek hubungan internasional yang semakin penting. James Rosenau mendefinisikan transnasionalisme sebagai : “proses di mana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai oleh hubungan individu-individu, kelompok, dan masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi penting bagi berlangsungnya peristiwa. (Rosenau 1980:1) Kaum liberal sosiologis kembali memasukkan tema lama dalam pemikiran kaum liberal di mana hubungan antar rakyat lebih kooperatif dan lebih mendukung perdamaian daripada hubungan antar pemerintah nasional. Maka, kepentingan dari masing-masing pihak tidak slaing mendominasi ataupun bertentagan sehingga terjadi persaingan tidak sehat.
2. Liberalisme Interdependensi
Interdependensi berarti hubungan timbal balik antara rakyat dan pemerintah yang dipengaruhi oleh peristiwa yang dilakukan pihak negara lain. Modernisasi didapuk sebagai latar belakang munculnya interdependensi antar negara. Bahkan, keberadaan interdependensi mampu mengakibatkan kompleksitas oleh adanya perluasan ruang lingkup dan derajat negara yang semakin multidimensional. Dalam interdependsi kompleks, aktor-aktor transnasional semakin penting sehingga menurunkan fungsi militer. Jadi, keamanan bukan lagi dianggap sebagai tujuan utama, melainkan kesejahteraan yang lebih kooperatif.
3. Liberalisme Institusional
Liberalisme institusional bermakna bahwa hubungan mutualisme antar negara harus terkendali dan terkontrol dalam suatu lembaga organisasional. Seringkali peran institusi yang dimaksud cenderung ke negara. Institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara. Oleh sebab itu, pengaruh institusi tersebut membantu mengurangi ketidakpercayaan dan ketakutan antar negara yang dianggap sebagai masalah tradisional (dikaitkan dengan anarki internasional).
4. Liberalisme Republik
Konsep ini dibangun dari pernyataan bahwa negara-negara demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh pada hukum dibandingkan sistem politik lainnya. Bukan berarti negara demokratis tidak pernah berperang, negara demokratis lebih sering berperang dengan negara nondemokratis. Perdamaian demokratis ini telah dikemukakan oleh Michael Doyle (1983) melalui tiga pilar : penyelesaian konflik secara damai antar negara demokratis, nilai bersama di antara negara demokratis- fondasi moral bersama, dan kerjasama ekonomi antar negara demokratis. Kaum liberalis republikan lebih bersikap optimis dalam meningkatkan ”Zona Perdamaian” yang terus menerus terjalin dalam negara-negara demokratis.
Tantangan liberalisme ini dihadapkan dengan lawan handal neorealisme. Secara humanis, sifat atau kondisi dasar manusia dari tiap paham bertolak belakang, antara optimisme dan pesimisme. Secara historis, liberal sangant mempertimbangakan progesivitas potensial yang terjadi masa lampau. Adanya pengalaman tradisional tersbut dinilai mamu memberikan dinamika perubahan yang lebih efektif. Namun, kaum neorealis sangat mengkritik peran institusi internasional yang ada di dalam konsep liberalisme. Kerjasama antar negara yang terwakili oleh suatu institusitidak selamanya berawal dari kepentingan bersama, malah diperuntukkan kepentingan pribadi semata.
Sebagai reaksi terhadap perdebatan neorealisme dan liberalisme, maka muncul paham neoliberalisme yang tak menghilangkan esensi liberal itu sendiri. Adanya kemajuan dan perubahan tetap menjadi landasan utama neoliberalisme, tetapi menolak nilai-nilai idealisme dan utopia yang semakin goyah tuk dianalisis secara ilmiah. Neoliberalisme dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya : Keohane dan Nye, Lebow, dan Mearsheimer. Keohane dan Nye lebih menjelaskan konsep neoliberalisme ke dalam ”interdependesi kompleks”. Mereka berkata: “…complex interdependence sometime comes closer to reality than does realism.” Untuk menjelaskan hal ini, ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan. Pertama, negara merupakan unit koheren dan aktor dominan dalam hubungan internasional. Kedua, force dijadikan sebagai instrumen bermanfaat dan efektif dalam membuat kebijakan. Ketiga, adanya hierarki dalam politik internasional.
Berpijak pada asumsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perdebatan sengit antara neorealisme dengan liberalisme sampai ke neoliberalisme mampu menimbulkan titik temu yang menjadi satu persamaan antar kedua paham tersebut. Baik neorealis maupun neoliberalis tidak memungkiri bahwa sistem anarki internasional memang ada dan nyata terjadi sampai sekarang. Namun, hal yang berbeda dari neoliberalisme adalah diberlakukannya pendekatan-pendekatan positif (soft power) untuk mengahadapi sistem anarki tersebut. Nantinya, kerjasama ataupun integrasi yang terjalin cenderung beraspek ekonomis yang berkaitan dengan perdagangan bebas dan pasar dunia.
Neoliberalisme mampu menjadi angin segar bagi perkembangan liberalisme. Adanya ketergantungan antar dua konsep ini telah menjadikan unsur kebebasan dan perdamaian dunia semakin konkrit. Ketegasan untuk menolak prinsip idealis patut dipertahankan dalam prospek neoliberalisme agar kemajuan terhadap perubahan dan perdamaian yang semula berkarakter ”imajiner” dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan secara aplikatif dan praktis. Seperti misalnya : kerjasama ekonomi antar negara, pembentukan integrasi ekonomi dalam suatu kawasan (ASEAN Economic Community 2015).

Liberalisme dan Neo-Liberalisme Hubungan Internasional

Liberalisme menjadi teori yang paling dominan dalam hubungan internasional semenjak berakhirnya perang dingin pada 1991. Kekalahan komunisme seakan menjadi justifikasi kemenangan paham liberal yang sarat dengan kebebasan individu.

Sejauh ini mahasiswa hubungan internasional gemar sekali mengindentikkan teori liberal dengan idealisme, optimisme, dan kebebasan tapi gagal memahami asumsi dasar teori liberal menyangkut banyak hal meliputi pasar bebas, institutusi internasional, organisasi internasional dan lainnya dalam penjelasan yang singkat dan tanpa berbelit-belit. Mungkin saya salah satu diantaranya >.<. Sebelum semakin bertambah pusing, sebaiknya tulisan ini dimulai dari pengertian liberal secara sederhana oleh beberapa liberalis.

Secara singkat Tim Dunne (2001) mendefiniskan liberalisme sebagai suatu ideologi yang perhatiannya terpusat pada kebebsan individual. Image paling kuat melekat dalam liberalisme adalah kedudukan negara adalah sebagai suatu manifestasi kebutuhan untuk melindungi kebebasan tersebut. Negara menjadi pelayan dari keinginan kolektif sekelompok orang yang menyerahkan kekuasaannya pada otoritas tertentu di luar mereka.

Fokus pemikiran liberal memberikan berbagai penjelasan bagaimana kedamaian dan korporasi antara aktor hubungan internasional dapat dicapai. Dalam liberal tersendiri terdapat empat cabang dalam menguraikan bagaimana kedamaian bisa dicapai (Dunne, 2001). Perspektif kedamaian dalam sudut pandang liberal dibagi menjadi empat yakni liberal internasionalisme, idealisme, optimisme, dan liberal institutionalisme.

1. a. Liberal internasionalisme

Dua pemikir yang muncul dari liberal internasionalisme adalah Immanuel Kant dan Jeremy Bentham. Pemikiran liberal mereka tentu saja tidak jauh dari kacamata mereka memandang situasi politik pada masa hidupnya yakni pada era Enlightenment.

Kant melihat dunia internasional seolah carut marut karena tidak adanya suatu hukum dan norma yang legitimate mengatur perilaku aktor-aktor politiknya. Menurut Kant, perdamaian bisa dicapai apabila terdapat hukum internasional dan kontrak federal antarnegara untuk meninggalkan perang.

Bentham menambahkan pemikiran liberal Kant dengan menyebut contoh nyata yang terjadi pada Germany Diet, American Confederation, dan Liga Swiss yang terbukti mampu memfasilitasi konflik yang terjadi akibat persaingan individu melalui pemerintahan bersama (federasi). Inti dari pemikiran liberal internasionalisme adalah siginifikasi hukum international. Menurut Bentham, hukum international tersebut dapat terbentuk tanpa melalui pemerintahan dunia. Menurut liberal internasionalisme masyarakat internasional berdasar hukum bisa terjadi secara natural sebagaimana Adam Smith menjelaskan mekanisme pasar dengan invisible hands. Ketika suatu negara mengikuti self interest masing-masing, individu secara tidak sadar mendorong terwujudnya kebaikan bersama.

1. b. Idealisme

Era idealisme dimulai sejak awal 1900 hingga akhir 1930 yang dimotivasi oleh keinginan kuat untuk menghindari perang. Salah satu pencetus idelalisme terkenal adalah Woodrow wilson yang tertuang dalam empat belas point Wilson. Kelahiran idealisme ditandai oleh pasca perang dunia I sebagai kritikan terhadap paham liberal internasionalisme yang menyatakan bahwa perdamaian bersifat natural dan bisa terjadi dengan sendirinya. Menurut Wilson, perdamaian tidak terjadi secara natural tapi mesti dikontruksi. Lebih lanjut Wilson mengatakan bahwa perdamaian itu bisa dikontruksi dengan membentuk institusi. Konsep utama dalam pemikiran idealisme adalah keamanan bersama, collective security. Dikarenakan jika keamanan suatu negara terganggu akan berimbas pada stabilitias keamanan di negara kawasan disebabkan interconnectedness, oleh karena itu keamanan menjadi konsep bersama keamanan suatu negara juga menjadi tanggung jawab negara lain.

1. c. Liberal Institusionalisme

Pandangan liberal institusionalisme muncul sebagai jawaban atas kritik realisme merespon peristiwa terjadinya perang dunia dua dan gagalnya Liga Bangsa-bangsa. Ini menjadikan sifat liberal institusionalisme menjadi cenderung realist dan mengurangi normativeness (Dunne, 2001).

Liberal institusionalime menolak pandangan aktor bersifat state-centric. Meskipun negara merupakan satu-satunya aktor tunggal hubungan internasional, mereka menilai organisasi internasiona, perusahaan multinasional merupakan aktor subordinate dalam sistem. Kehadiran aktor subordinate menjalankan beberapa peran yang tidak dapat dilakukan oleh negara.

Fenomena globalisasi tidak membuat paham liberal menjadi outdated, sebaliknya liberal terus melakukan penyesuaian dengan konsep kini supaya terus relevan memberikan penjelasan terhadap kejadian dalam konteks global.

1. d. Neo-liberal internasionalisme

Neo-liberal internasionalisme cenderung menggunakan istilah globalisasi dalam berbagai pengertian positif. Globalisasi memicu tumbuh kembangnya ekonomi secara lebih baik dan sepertil tradisis liberal internasionalime lama, pertumbuhan ekonomi yang maksimal melalui perdangan (commerce) dan free trade merupakan ladang subur bagi benih-benih perdamaian diamana akan terjaling mutual understanding. Mutual understanding inilah yan goleh neo-liberal internasionalisme menjadi faktor kunci mencegah perang.

1. e. Neo-idealisme

Neo-idealisme muncul dengan ide bahwa ketergantungan sangat bermanfaat untuk mendatangkan perdamaian dan menyebarkan semangat demokrasi. Globalisasi menjadi perangkat efektif untuk menyebarkan ide demokrasi. Demokrasi yang mengandung nilai-nilai kebebasan dan perdamaian menjadi indikator paling valuabel untuk menciptakan kerjasama melalui terbentuknya masyarakat global-global society.

1. f. Neo-liberal institusionalisme

Prinsip kunci liberal institusionalisme adalah mengakui keberadaan aktor non-negara dalam sistem (Keohane, 1989a). Neo-liberal institutionalisme mengakui sistem cenderung anarki daripada kooperatif, sesuai dengan pandangan realis, meskipun demikian namun kerjasama antaraktornya tetap terjalin. Mengapa demikian? Sebab aktor negara bersifat rasional yakni selalu terdapat kecenderungan mereka menghindari perang dan seminimal mungkin melakukan kerjasama menggunakan asas mutual gain atau absolute gain ¸bukannya relative gain.

Relative gain mengindikasikan bahwa kerjasama bersifat zero sum game, state akan bekerjasasama jika ia mendapat keuntungan lebih dari yang lainnya “who can get more”. Sementara itu, Absolute gain kerjasama tetap terjadi dalam kondisi positive sum game, manakala menguntungkan kedua pihak.

OPINI

Paham liberal memuat asumsi bahwa kondisi alami sistem internasional pada dasarnya terdiri dari dua fase, yaitu fase bagaimana mewujudkan perdamaian abadi dan fase bagaimana merespon globalisasi.

Pada awal perkembangan liberal, liberal berasumsi perdamaian bisa diselenggarakan melalui tiga hal. Pertama, perdamaian bisa disebarkan melalui perdagangan dan pasar bebas. Kedua, konflik terjadi bukan karena sifat alamiah manusia tapi karena disebabkan absennya peraturan, norma, dan hukum internasional yang berfungsi menciptakan masyarakat hukum internasional. Ketiga, perdamaian bisa diselenggarakan dalam konteks manakala terdapat pemerintahan dunia yang legitimate untuk mengatur dan mengawasi norma-norma internasional supaya dipatuhi.

Fenomena globalisasi tidak menyebabkan pemikiran liberal ketinggalan jaman. Liberal meresponnya dalam tiga hal. Pertama, globalisasi merupakan arena yang memperkuat dan memperluas ketergantungan, dan ketergantungan ini menjadi ladang untuk menjalin pengertian yang membangun perdamaian; fenomena globalisasi seakan mendorong negara untuk memainkan peran yang sangat luas, namun beberapa peran yang mustahil dilakukan oleh negara diambil alih oleh keberadaan aktor subordinate yakni perusahaan multinasiona, organisasi internasional, rezim internasional maupun institusi internasional. Kedua, globalisasi menjadi perangkat paling penting untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi yakni kebebasan individu, pengakuan hak asasi manusia, dan perdamaian. Ketiga, globalisasi mengkibatkan negara sulit sekali untuk menghindari kerjasama, kerjasama akan selalu terjadi pada level minimal meskipun sistem internsional bersifat anarki dan konfliktual.

Beberapa nilai dan norma internasional yang menjadi jargon paham liberal adalah prinsip ketergantungan—interdependence dan collectve security.

Collective security, Kejadian yang terjadi pada suatu negara misalnya isu keamanan juga menjadi perhatian negara lain dan oleh karena itu negara secara kolektif mesti berkumpul untuk mengatasinya. Ini membentuk norma keamanan kolektif yang melatarbelakangi pentingnya untuk mendirikan suatu pemerintah dunia dan insitusi internasional untuk memfasilitasi konflik kepentingan yang ada

PERDEBATAN AWAL DALAM TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pengantar
Pada awal perkembangan kajian studi hubungan internasional terjadi perdebatan teori yang dari waktu ke waktu semakin meningkatkan kajian-kajian tentang studi hubungan internasional yang pada dasarnya merupakan ilmu yang masih sangat muda usianya dalam bidang kajian akademik. Jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang telah berkembang lebih dahulu, ilmu hubungan internasional termasuk ilmu yang belum lama berkembang tetapi jika mengartikan hubungan internasional secara kasar maka hubungan internasional sudah terjadi pada jaman dahulu. Awal perkembangan studi tentang ilmu hubungan internasional diawali pada abad ke 17. Titik akhir era pertengahan yang bersejarah dan titik awal system internasional modern, berbicara secara umum, biasanya dikenal dengan Perang Tiga Puluh Tahun(1618-1648) dan Perdamaian Westphalia yang mengakhiri perang tersebut. Para akademisi sepakat bahwa awal perkembangan Hubungan Internasional modern dimulai pada era pertengahan karena pada masa setelah perjanjian Westhphalia ditandatangani, berbagai Negara-Bangsa (Nation-State) mulai bermunculan.
Pada awal perkembangan studi tentang Hubungan Internasional, terjadi perdebatan antara teori-teori idealis dengan realis. Teori idealis berkembang sebelum tahun 1930-an dan teori realis berkembang antara 1930-an sampai 1950-an. Jika memandang perkembangan teori-teori ini dari sudut pandang sejarah maka pada waktu itu Eropa masih dalam suasana Perang Dunia I dan II. Dan peranglah yang menjadi pokok permasalahan dari awal perkembangan HI.
Teori Idealis
Banyak ilmuwan HI yang mengatakan bahwa teori ini sebagai idealis utopian/liberalis utopian. Pada dasarnya teori ini didasarkan pada legalistic-moralistik yang memandang manusia sebagai makhluk yang cinta damai. Pada tahun 1920-an banyak teori-teori HI yang berdasar pada teori ini karena masih dalam bayangan Perang Dunia I yang memandang perang sebagai kecelakaan dan dosa. Perang dianggap kecelakaan karena tidak adanya organisasi internasional yang dapat mencegahnya. Perang dianggap dosa karena mengungkap sifat jelek manusia yang seharusnya cinta damai. Kaum Idealis mengangap perang sebagai suatu keadaan yang tidak seharusnya terjadi. Manusia pada dasarnya baik dan membenci perang.
Menurut kaum idealis cara menghindari perang adalah dengan membentuk organisasi internasional yang dapat menciptakan kedamaian dan mampu meredam perang. Para ilmuan idealis menganggap bahwa dengan mereformasi system internasional dan struktur-struktur domestik negara-negara otokratis dapat mencegah terjadinya perang. Presiden Wilson dan orang-orang idealis lainnya menginginkan tatanan dunia yang didasarkan atas demokrasi yang dijaga oleh organisasi internasional. Dia dianugrahi penghargaan Nobel Perdamaian karena mengusulkan adanya suatu organisasi internasional yang dapat mengatur negara-negara dalam setiap tindakannya. Pada tahun 1920 lahirlah Liga Bangsa-Bangsa yang sebelumnya diusulkan Presiden Wilson melalui Konferensi Perdamaian Paris 1919.
Presiden Wilson menginginkan diakhirinya diplomasi rahasia dan semua kesepakatan diketahui secara luas agar setiap negara tidak saling curiga. Harus ada kebebasan navigasi di laut, dan hambatan-hambatan bagi perdagangan bebas harus dihilangkan. Persenjatan disemua negara harus dikurangi sampai pada titik paling rendah untuk melakukan konflik. Klaim kolonial dan wilayah harus diselesaikan dengan mengacu pada prinsip hak dan menentukan nasibnya sendiri dari masyarakat wilayah tersebut.
Teori idealis ini dianggap sebagai teori yang besar pada tahun 1920-an, tetapi pada masa setelah itu teori ini menjadi surut karena munculnya negara Nazi dan Fasis yang cenderung otokratis. Masalah-masalah kembali muncul saat Liga Bangsa-Bangsa yang diharapkan dapat mencegah terjadinya perang tetapi tidak bisa berbuat apa-apa saat beberapa negara anggotanya malah menginvasi negara lain. Hal ini karena di dalam tubuh Liga Bangsa-Bangsa tidak ada negara yang sungguh-sungguh serius melaksanakan aturan-aturan dari LBB. Amerika Serikat yang mengusulkan didirikannya LBB malah tidak masuk menjadi anggota LBB karena kebanyakan anggota Senat menolaknya. Politik Luar Negeri Amerika Serikat yang masih bersifat isolanisme menyulitkan Amerika Serikat dalam menangani masalah-masalah Eropa yang pada waktu itu sedang kacau-kacaunya.
Setelah tahun 1930-an teori ini redup sama sekali dengan munculnya Perang Dunia II yang lebih mengerikan daripada Perang Dunia I. Dan hal itu tidak bisa dijelaskan oleh ilmuan-ilmuan idealis. Setelah teori idealis, muncul teori baru yaitu teori realis dan teori ini lebih dianggap berperan setelah masa teori idealis.
Teori Realis
Pada tahun 1930-an, Negara-negara nazi dan fasis memulai politik ekspansinya ke negara-negara tetangga. Dunia masuk kedalam Perang Dunia II yang menelan lebih dari 50 juta jiwa melayang. Dengan adanya perang ini, runtuhlah teori idealis yang mencari perdamaian melalui norma-norma dan hokum yang diaplikasikan melalui lembaga-lembaga supranasional. Setelah Perang Dunia II, sarjana-sarjana generasi baru yang lebih pragmatis muncul untuk bertekad tidak lagi menyerah atau mengalah pada teori-teori idealis yang sebelumnya menguasai teori-teori dalam Hubungan Internasional. Aliran pemikiran baru ini, menamakan dirinya “realis” dan menolak teori-teori idealis yang mendasarkan pada moral.
Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard, dan Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri (self-interested). Setiap kerja sama antara negara-negara dijelaskan sebagai benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori mereka.
Bagi Morgenthau, dan para pemikir realis lainnya, manusia merupakan makhluk yang jahat dan hanya mementingkan diri sendiri dan itu juga berlaku dalam hubungan internasional. Konsep yang ditawarkan kaum idealis yang mengatakan manusia itu baik, ditolak mentah-mentah dengan mengatakan manusia itu jahat dan hanya mengejar kekuasaan. Konsep ini dapat dilihat pada tahun 1930-an saat Jerman, Jepang dan Italia melakukan ekspansi besar-besaran ke negara tetangganya, selain itu juga Nazi-Jerman melakukan genocide besar-besaran terhadap golongan umat Yahudi.
Yang menjadi pandangan lain dari para pemikir realis adalah sifat dari hubungan internasional itu sendiri. “Politik Internasional, seperti semua politik, adalah perjuangan demi kekuasaan. Apapun tujuan akhir politik internasional, kekuasaan merupakan tujuan yang selalu didahulukan”(Morgenthau, 1960). Hubungan internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan dan untuk bertahan hidup. Dan ini dapat dilihat dari Perang Dunia II, anatara pihak yang berperang. Keduanya saling saling merebutkan kekuasaan dan bertahan hidup. Dan sifat ini juga ditemui dalam diri seorang manusia. Kaum realis menolak pendapat kaum idealis yang mengatakan bahwa untuk mencegah perang harus ada organisasi social yang dapat mencegahnya. Hal ini karena mereka melihat kenyataan yang terjadi pada PD II dan peran LBB yang gagal. Solusi yang ditawarkan kaum realis adalah pembentukan kekuatan penyeimbang dan penggunaan kekuatan tersebut secara cermat untuk menyiapkan pertahanan nasional dan menolak agresor internasional.
Berikut ini adalah pandangan-pandangan kaum realis dalam melihat negara dalam hubungan intenasional.
1. Negara selalu mempunyai kepentingan yang berbenturan.
2. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.
3. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik, dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
4. Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan, dan menunjukkan power.
5. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain ( devide and rule).
6. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance of Power atau Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang mendominasi sistem internasional.
7. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan nasionalnya (national interest).
Kesimpulan
Perkembangan awal teori-teori Hubungan Internasional pada awalnya diwarnai dengan perdebatan-perdebatan antara idealis dengan realis. Sebelum tahun 1920-an, teori-teori idealis lebih mendominasi kajian akademik tentang studi hubungan internasional. Tetapi dengan adanya Perang Dunia II dan gagalnya Liga Bangsa-Bangsa menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi terutama di Eropa pada waktu itu menggeser posisi idealis dan digantikan oleh realis yang sangat berlawanan dengan idealis. Selama beberapa dekade setelahnya, teori-teori realis tetap bertahan dalam menjelaskan fenomena-fenomena hubungan internasional.
Menurut saya sebagai penulis, teori realis lebih menyakinkan walaupun dalam beberapa hal mengatakan, terutama manusia, memandang manusia sebagai jahat. Selain itu realis lebih dapat menjelaskan tentang hubungan internasional lebih komprehensif daripada idealis. Teori-teori yang dikeluarkan oleh ahli-ahli idealis lebih hanya memandang apa yang seharusnya terjadi tetapi tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan disinilah letak kelemahan teori-teori idealis. Walaupun sebenarnya teori idealis lebih meletakkan pondasi-pondasi legalistik-moralistik. Dan hal serupa juga berlaku sebaliknya, realis tidak menempatkan pondasi moral pada teorinya dan bahkan lebih mendukung peningkatan senjata yang dibarengi oleh negara lain (balance of power).
Tetapi sebagai sebuah teori yang harus melalui proses dialektika, realis tetap digeser oleh teori-teori lain yang lebih bisa menjelaskan fenomena–fenomena dalam hubungan internasional. Dan hal ini terjadi beberapa dekade setelah masa perdebatan antara teori idealis dan realis.
Menurut Stephen M. Walt semenjak berakhirnya perang dingin terjadi berbagai perubahan di dalam teori hubungan internasional. Beragam teori dan metode berkembang. Yang disertai pula dengan munculnya beragam isu-isu baru seperti, konflik etnik, lingkungan dan masa depan nation-state¬.
Ada tiga paradigma yang dibahas oleh Walt di dalam artikelnya ini yaitu, Realisme, Liberalisme dan Konstruktivisme. Dalam pembahasannya tersebut Walt banyak mengulas tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masing-masing paradigma.
Realisme
Salah satu kontribusi yang diberikan realisme adalah perhatiannya terhadap permasalahan relative gains dan absolute gains. Merespon kalangan institusionalis yang beranggapan bahwa institusi internasional memungkinkan negara meninggalkan keuntungan jangka pendek untuk meraih keuntungan jangka panjang, para realis seperti, Joseph Grieco dan Stephen Krasner menyatakan bahwa sistem yang anarkis memaksa negara untuk memperhatikan secara bersamaan: 1) absolute gains dari kerjasama dan; 2) aturan main dalam distribusi keuntungan di antara partisipan. Logikanya adalah, jika sebuah negara mendapatkan keuntungan lebih besar dari yang lain maka ia secara gradual akan semakin kuat. Sementara negara yang lain akan semakin rentan (vulnerable).
Selain itu, realis juga cepat dalam merespon isu-isu baru. Barry Possen menawarkan penjelasan realis tentang konflik etnis. Ia mencatat bahwa pecahnya negara-negara multietnis menempatkan kelompok etnis lawan dalam situasi yang anarkis. Sehingga memicu intensitas ketakutan dan menggoda (tempting) masing-masing kelompok menggunakan kekuatan untuk meningkatkan posisi relatif mereka. Permasalahan ini akan semakin parah ketika di dalam wilayah masing-masing kelompok terdapat kantong-kantong (enclaves) yang didiami oleh etnis lawan. Karena masing-masing pihak akan tergoda melakukan pembersihan (cleanse) – bersifat preemptif – kelompok minoritas dan melakukan ekspansi untuk memasukan anggota kelompok mereka yang berada di luar batas wilayah.
Tetapi menurut Walt, pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Kalangan realis-defensif semacam Waltz, Van Evera dan Jack Snyder berasumsi bahwa negara memiliki sedikit kepentingan intrinsik di dalam penaklukan militer (military conquest). Dengan alasan, biaya yang dikeluarkan untuk ekspansi, umumnya, lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Bagi mereka, sebagian besar perang besar (the great power wars) disebabkan oleh kelompok-kelompok domestik yang membesar-besarkan persepsi atas ancaman dan adanya keyakinan yang tinggi terhadap kemanjuran kekuatan militer.
Kalangan ini melihat bahwa perang lebih mungkin terjadi ketika kemungkinan untuk melakukan penaklukan diantara negara-negara sangat mudah dilakukan. Namun ketika defense lebih mudah dilakukan dibandingkan offense, keamanan akan muncul dimana-mana, dorongan untuk ekspansi berkurang dan kerjasama akan berkembang. Dan jika defense memiliki keuntungan dan negara-negara mampu membedakan antara senjata untuk bertahan dan menyerang, kemudian negara-negara dapat memperoleh alat-alat untuk mempertahankan diri tanpa mengancam negara lain. Dengan demikian mengenyahkan efek dari sistem yang anarki. Dalam pandangan kalangan realis-defensif, “states merely sought to survive and great powers could guarantee their security by forming balancing alliances and choosing defensive military postures (such as retaliatory nuclear forces)”
Namun pandangan tersebut mendapat tantangan dari sejumlah teoritisi lain. Diantaranya adalah Peter Liberman yang menulis sebaliknya, bahwa manfaat dari melakukan penaklukan (conquest) seringkali lebih besar dari pada biaya yang harus dikeluarkan. Liberman mengemukakan argumentasinya dengan memberikan sejumlah kasus seperti, pendudukan Nazi atas Eropa Barat dan hegemoni Uni Soviet atas negara-negara Eropa Timur. Yang dengan demikian membuang keraguan terhadap klaim bahwa ekspansi militer tidak efektif lagi.
Kritik datang pula dari kalangan realis-ofensif seperti, Eric Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria yang menyatakan bahwa situasi anarki mendorong negara-negara untuk mencoba memaksimalkan kekuatan relatif mereka karena tidak satupun negara dapat memastikan kapan kekuatan revisionis sesungguhnya akan muncul.
Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan diantara kalangan realis dalam melihat persoalan internasional, semisal masa depan Eropa. Bagi kalangan realis-defensif seperti Van Evera, perang tidaklah hanya sedikit memberi keuntungan dan seringkali lahir dari militerisme, hypernationalism, atau beragam distorsi yang berasal dari faktor domestik. Van Evera mempercayai bahwa sebagian besar kekuatan militer tidak berperan (absent) di era pasca perang dingin. Ia berkesimpulan bahwa “the region is “primed for peace””. Sebaliknya para realis-ofensif berpendapat bahwa system yang anarki mendorong kekuatan-kekuatan besar untuk berkompetisi terlepas dari karakteristik internal mereka dan kompetisi keamanan akan kembali ke Eropa.
Liberalisme
Dalam tulisannya ini Walt mengulas mengenai perkembangan teori ‘democratic peace’. Teori ini berpendapat, meskipun demokrasi tampak “mensponsori” perang namun ia jarang melakukan peperangan di antara mereka. Karena norma-norma demokrasi menentang penggunaan kekerasan sesama mereka.
Namun keyakinan tersebut saat ini mendapatkan sejumlah suntikan perkembangan baru dari sejumlah teoritisi. Snyder dan Edward Mansfield menekankan bahwa negara-negara akan lebih mudah berperang jika mereka berada di tengah-tengah transisi demokrasi. Sehingga upaya mengekspor demokrasi akan semakin memperburuk keadaan.
Bukti-bukti kuat mengenai demokrasi yang tidak saling berperang hanya ada pada masa-masa pasca 1945. Sebagaimana dinyatakan Joanne Gowa bahwa kekosongan konflik pada masa-masa pasca 1945 lebih disebabkan oleh kepentingan untuk menghadang Uni Soviet daripada to share prinsip-prinsip demokrasi.
Begitu pula dari jajaran liberal-institusionalis, terjadi sejumlah perkembangan-perkembangan baru. Saat ini bagi mereka, institusi dipandang sebagai fasilitator bagi kerjasama antar negara-negara yang memiliki kesamaan kepentingan. Dan setuju bahwa negara-negara tidak dapat dipaksa untuk bekerjasama jika itu bertentangan dengan kepentingan negara tersebut.
Sementara aliran liberal-ekonomik berpendapat bahwa “globalisasi” pasar dunia, kemunculan jaringan transnasional dan NGO dan penyebaran yang cepat teknologi komunikasi global mengurangi power dari negara-negara dan mengubah perhatian dunia dari persoalan keamanan militer ke persoalan kesejahteraan ekonomi dan sosial.
Bagi Walt walaupun terjadi perubahan-perubahan di dalam pemikiran ini namun logika dasarnya tetap sama yaitu, masyarakat global terjebak ke dalam jaring-jaring ekonomi dan sosial yang saling berkait dan resiko merusak jejalinan tersebut secara efektif menghalangi tindakan-tindakan unilateralis negara-negara, terutama dalam hal penggunaan kekerasan (force). Perspektif ini secara implisit menyatakan bahwa perang akan tetap merupakan pilihan yang jauh di dalam negara-negara demokrasi industrial tingkat lanjut (the advanced industrial democracies). Bagi mereka membawa Cina dan Rusia ke dalam kapitalisme dunia merupakan cara terbaik untuk mempromosikan kesejahteraan dan perdamaian, terutama jika proses ini menghasilkan kelas menengah yang kuat di dalam negara dan memperkuat tekanan bagi demokratisasi.
Konstruktivisme
Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.
Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.
Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.
Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).
Di dalam tabel berikut, Walt memberikan sejumlah perbedaan-perbedaan di antara ketiga pemikiran tersebut.
Tabel: Perbedaan Antar Perspektif di dalam HI
Competing Paradigm Realism Liberalism Constructivism
Main theoretical proposition Self-interest states compete constantly for power or security Concern for power overridden by economic/political considerations (desire for prosperity, commitment to liberal values) State behaviour shaped by elite beliefs, collective norms, and social identities
Main unit of analysis States States Individual (especially elites)
Main instruments Economic and especially military power Varies (international institutions, economic exchange, promotion democracy) Ideas and discourse
Modern theories Hans Morgenthau
Kenneth Waltz Michael Doyle
Robert Keohane Alexander Wendt
John Ruggie
Representative modern works Waltz, Theory of International Politics.
Mearsheimer, “Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War” (International Security, 1990) Keohane, After Hegemony.
Fukuyama, “The End of History?” (National Interest, 1989) Wendt, “Anarchy Is What States Make of It” (International Organization, 1992)
Koslowski & Kratochwil, “Understanding Changes in International Politics” (International Organization, 1994)
Post-cold war prediction Resurgence of event great power competition Increased cooperation as liberal values, free market, and international institution spread. Agnostic because it cannot predict the content of ideas
Main limitation Does not account for international change Tends to ignore the role of power Better of describing the past than anticipating the future
Sumber: Walt, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998.
Sementara Steve Smith menulis, untuk memahami teori-teori internasional saat ini ada dua distinction yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, perbedaan antara “explanatory theory” dan “constitutive theory”. Kedua mengenai “foundational theory” dan “anti-foundational theory”.
Bagi explanatory theory, dunia berada di luar teori. Sebaliknya constitutive theory menyatakan bahwa teori-teori yang ada mengonstruksi dunia. Artinya, bagi kalangan eksplanatoris dunia dipahami berdiri sendiri tidak terpengaruh oleh faktor subjektivitas aktor-aktor yang berdinamika di dalam dunai sosial. Dunia bersifat objektif. Tetapi sebaliknya, kalangan constitutive melihat dunia sebagai hasil pemahaman individu atas lingkungan sosialnya.
Tentang perbedaan antara foundational theory dan anti-foundational theory terletak pada isu apakah keyakinan (belief) kita tentang dunia dapat dites atau dievaluasi menggunakan prosedur yang netral dan objektif. Bagi foundationalist kebenaran dapat diukur sehingga justifikasi atas benar atau salah dapat dilakukan. Berbeda, anti-foundationalist berpendapat bahwa bahwa justifikasi benar atau salah atas klaim kebenaran tidak dapat dilakukan karena tidak pernah ada sesuatu yang netral yang dapat melakukan itu. Bahkan setiap teori menentukan sendiri apa yang disebut sebagai fakta.
Explanatory theory cenderung kepada foundationalism dan constitutive theory cenderung kepada anti-foundationalism. Kebanyakan teori-teori internasional terbaru berada di dalam kelompok anti-foundational theory seperti, posmodernisme, sebagian teori-teori feminis dan sebagian besar teori normatif (normative theory).
Sementara sosiologi historis (historical sociology) dan teori kritis cenderung berada di posisi foundationalisme. Namun di antara dua kutub tersebut terdapat konstruktivisme sosial (social constructivism) yang berada di tengah-tengah.
Juga di dalam dinamika teori-teori internasional terdapat pula debat antara positivisme dan non-positivisme yangmenyebabkan terjadinya tiga kelompok besar, yaitu:
1. Rasionalisme. Di dalam kelompok ini terdapat neo-liberalisme dan neo-realisme.
2. Reflektivisme. Di dalam kelompok ini terdapat posmodernisme, teori feminis, teori normatif (normative theory), teori kritis, dan sosiologi historis (historical sociology).
3. Konstruktivisme sosial. Yang berada di tengah-tengah kedua kutub.
Neo-Neo Synthesis
Di dalam tulisannya ini Smith menjelaskan bahwa dalam perkembangannya yang lebih lanjut, terutama sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai satu titik kesamaan. “Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy.”
Di dalam debat-debat yang terjadi di antara kedua perspektif tersebut ada dua poin yang perlu dicermati yaitu, pertama, neo-realis lebih menekankan pada relative gains sementara neo-liberalisme menekankan pada absolute gains. Perbedaannya adalah, katakanlah ada sebuah kue, jika kemudian negara-negara berpikir untuk mendapatkan potongan kue yang paling besar dari yang lain tanpa mempedulikan ukuran kue tersebut maka ia lebih menekankan pada relative gains. Sementara jika negara-negara berpikir untuk memperbesar ukuran kue agar seluruh negara dapat memperoleh potongan kue yang besar maka negara-negara tersebut lebih menekankan pada absolute gains.
Kedua, neo-realis tidak mempercayai bahwa institusi international dapat menanggulangi akibat dari anarki internasional. Sebaliknya bagi neo-liberal, mereduksi terjadinya misunderstanding dan kerjasama antar negara dapat mencegah efek-efek yang ditimbulkan oleh anarki internasional. Kemudian juga, jika neo-realis lebih menekankan pada masalah-masalah keamanan, neo-liberal lebih menekankan pada isu-isu ekonomi-politik.
Smith juga mencatat, mengikuti Baldwin, ada empat kelemahan yang dimiliki oleh ‘neo-neo synthesis’:
1. Kedua perspektif meninggalkan isu-isu the use of force yang menjadi kunci perbedaan utama antara realisme dan liberalisme pada decade-dekade sebelumnya. Kedua perspektif tampaknya berusaha melemahkan relevansi isu-isu tersebut di dunia modern saat ini.
2. Jika sebelumnya liberalisme melihat aktor-aktor sebagai agen moral dan realis melihat aktor-aktor sebagai power maximizers maka di dalam perkembangan ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa aktor-aktor merupakan value maximizers.
3. Jika sebelumnya terjadi perdebatan dimana realis menekankan negara sebagai aktor dan liberalisme menekankan pada ¬non-state actors maka di dalam ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa negara merupakan aktor utama di dalam politik internasional.
4. Jika realisme melihat konflik sebagai kunci untuk memahami politik internasional dan liberalisme melihat kerjasama sebagai sesuatu yang penting maka neo-neo debate melihat kedua-duanya, baik kerjasama dan konflik sebagai fokus perhatian.
‘Neo-neo synthesis’ dapat dikatakan lahir sebagai respon atas kegagalan realisme dan liberalisme klasik dalam menganalisis fenomena internasional yang tidak sepenuhnya berjalan seperti apa yang diteorisasikan oleh dua paradigma tersebut. Hal itu disebabkan oleh perilaku aktor-aktor internasional yang cenderung pragmatis, dalam pengertian memanfaatkan kedua pendekatan tersebut dalam mencapai kepentingannya, menyebabkan realitas sosial internasional tidak dapat dilihat secara hitam putih dari perspektif masing-masing pendekatan.
Fenomena ‘neo-neo synthesis’ tidak saja merubah sejumlah pandangan yang telah ada sebelumnya di masing-masing pendekatan namun juga melahirkan sejumlah persamaan pendapat pada kedua pemikiran tersebut yang menyebabkan semakin berkurangnya jurang pemisah antara (neo) realis dan (neo) liberalis.
Social Constructivism: Bridging The Gap
Jika kita mengikuti pola pembagian yang dilakukan oleh Lapid dia atas maka di dalam bagan, ketiga kelompok besar tersebut akan tampak seperti di bawah ini:





Posisi konstruktivisme yang berada di antara rasionalisme dan reflektivisme bagi Smith memberikan keuntungan sendiri karena dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kedua belah pihak yang saling “bertikai” dan sulit mencapai kesepahaman. Sebagaimana ditulis olehnya,
“I am sure that it promises to be one of the most important theoretical development of recent decades; the reason is that is that if it could deliver what it promises then it would it would be the dominant theory in the discipline, since it could relate to the all other approaches on their own terms, whereas at the moment there is virtually no contact between rationalist and reflectivist theories since they do not share the same view of how to build knowledge.
Untuk melengkapi penjelasan Walt di atas mengenai konstruktivisme ada baiknya untuk melihat beberapa inti dari pemikiran Alexander Wendt yang telah diringkas oleh Steve Smith di dalam tulisannya yang berjudul New Approaches to International Theory. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neo-liberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neo-realis dan neo-liberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan.
Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaning menentukan struktur yang mengatur tindakan-tindakan kita. Dan aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi di dalam collective meaning tersebut. Identities and interests are relational and are defined as we defined situations.
Dari sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo) liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional. Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari interaksi antar aktor-aktor internasional, sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor internasional (given).
Model analisa yang diberikan oleh konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan “dunia ide” yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas realitas. Perkembangan teori-teori model ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari sekelompok ilmuwan sosial Jerman yang dikenal sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) dimana salah satu pemikir terkenalnya adalah Juergen Habermas. Dari Mahzab Frakfurt ini kemudian berkembang teori-teori reflektivisme dengan berbagai variannya.
Jika dikaitkan dengan jaman kekinian, dimana mobilitas dan jumlah informasi yang berseliweran sehari-hari sangat tinggi (information age), teori ini memiliki relevansi yang sangat signifikan. Karena saat ini kekuasaan tidak lagi dilanggengkan dengan kekuatan senjata semata melainkan juga melalui media-media informasi yang dapat mengonstruksi kesadaran masyarakat.
Hanya saja mengenai pemikiran konstruktivisme (terutama konstruktivisme Wendt), Steve Smith memberikan kritikan bahwa pemikiran Wendt tidak sepenuhnya dapat menjadi jembatan yang menghubungkan gap yang terjadi di antara rasionalisme (neo-realisme dan neo-liberalisme) dan reflektivisme (teori kritis, posmodernisme, dll). Ada lima alasan yang dikemukakan Smith:
1. Pemikiran konstruktivisme Wendt tidak cukup memuaskan bagi kalangan reflektivis yang menyukai pandangan yang lebih radikal dibandingkan Wendt.
2. Wendt terlalu “berbau” realis. Ini dapat dilihat dari pendapatnya yang menyatakan “to that extent, I am a statist and realist”. Artinya Wendt tetap memandang bahwa negara merupakan aktor utama dan negara tetap akan mendominasi. Padahal pemikiran ini yang ingin dirubah oleh reflektivisme.
3. Keinginan Wendt untuk menggabungkan rasionalis dan reflektivis bagi Smith tidak mungkin dilakukan terutama berkaitan tentang persoalan “how to construct knowledge.” Rasionalis memiliki landasan positivis sementara reflektivis post-positivis. Dua pandangan ini memiliki perbedaan yang sangat jauh sehingga sulit untuk dikombinasikan.
4. Konsep ‘struktur’ yang dikemukakan Wendt kurang material. Karena bagi Wendt struktur merupakan apa yang dipahami di kepala si aktor. Sementara bagi banyak ilmuwan struktur dipahami sebagai refleksi dari kepentingan yang material.
5. Wendt berpendapat bahwa identitas datang dari hasil proses interaksi. Kritik yang diberikan Smith atas pendapat ini adalah kita tidak datang ke dalam sebuah interaksi tanpa membawa identitas yang sebelumnya telah didapatkan. Artinya identitas yang telah kita peroleh sebelumnya akan mempengaruhi pihak lain yang terlibat di dalam sebuah proses interaksi, begitu juga sebaliknya.
Stephen M. Walt pun memberikan kritikannya terhadap konstruktivisme bahwa kelemahan konstruksivisme terletak pada ketidakmampuannya memberikan solusi atas persoalan (Better of describing the past than anticipating the future).
Bibliography
Pembahasan beragam perspektif di dalam HI ini didasarkan pada tulisan Stephen M. Walt, ”International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998 dan Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.
Stephen M. Walt, ‘International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998
Buku terbarunya Amy Chua, World on Fire: How Exporting Market Democracy Breeds Hatred and Global Instability, London: Arrows Book, 2004 mungkin dapat dijadikan pegangan dalam memahami pendapat tersebut.
Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.
Dalam bahasa Smith, “explanatory theory is one of that sees the world as something external to our theories of it; in contras a constitutive theory is one that thinks our theories actually help construct the world.”
Smith, op.cit
ibid. Dengan penekanan oleh penulis.
Ini merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perdebatan-perdebatan yang terjadi antara realisme dan liberalisme yang memancing terjadinya perkembangan-perkembangan terbaru di dalam tubuh kedua perspektif tersebut.
Smith, op.cit.
Ibid.
Terutama sekali bentukan (konstruksi) yang datang dari hasil konstruksi kesadaran atau pikiran.

Perbedaan antara defense dan offensive liberalisme

pada setiap negara, pasti memiliki tujuan keamanan negaranya masing-masing. ada beberapa macam strategy yang diambil oleh negara dan menjadi acuan didalam keamanan nasionalnya yang pertama adalah.
 Defense, yang berarti “bertahan” bertahan disini maksudnya bukan tidak memiliki kekuatan militer sama sekali, tapi meminimalisir jatuhnya korban akibat perperangan. jadi apabila ada permasalahan luar negeri yang menyangkut dua buah negara yang terlibat di dalamnya, maka negara tersebut lebih menghindari perang dan memberikan solusi selain perang. misalkan mengadakan perundingan dan perjanjian dan juga dengan beraliansi dengan setiap negara agar dapat menghindari perselisihan.
defense bersifat multilateral, yang berarti melibatkan atau mengikutsertakan lebih dari dua bangsa. jadi dari penjelasan multilateral di atas bisa kita simpulkan dengan contoh, antara perselisihan malaysia dan indonesia. maka mereka mencari negara penengah yang tidak memihak kepada salah satu dari mereka untuk menemukan solusi menghindarkan perang karena indonesia dan malaysia merupakan anggota dari pbb jadi indonesia dan malaysia melibatkan Pbb. Sebagai penengah diantara mereka, karena PBB merupakan organisasi internasional yang terdiri dari negara negara berdaulat.
aliansi, negara yang menggunakan strategy defense liberalism menggunakan aliansi untuk meminimalisir terjadinya perang. jadi apabila ada perseteruan antara negaranya dengan negara lain diluar aliansi maka ia akan meminta bantuan terhadap negara negara aliansinya untuk menjadi penengah ataupun pelindung.

 yang kedua adalah offensive, yang berarti “menyerang” menyerang disini maksudnya strategy negara tersebut lebih mengandalkan kekuatan militernya secara utuh dan tidak memikirkan adanya korban jiwa dari orang orang yang tidak bersalah dari pihaknya maupun pihak lawan.
offensive lebih bersifat unilateralisme, yang memiliki pengertian secara sepihak yang berarti disetiap permasalahan negara tersebut ia hanya menyelesaikan sendiri permasalahannya, tanpa meminta bantuan kepada negara lain dengan mengedepankan kekuatan militernya sebagai ujung tombak kekuatan dari negara tersebut.
Aliansi, negara yang menggunakan strategy offensive liberalism tetap melakukan aliaansi dengan negara lain tetapi ia tidak mengikutsertakan aliansi tersebut secara terang terangan didalam menjaga keamanan negaranya. jadi apabila terjadi suatu permasalahan dengan negara lain di luar aliansi maka mereka akan mengandalkan kekuatan sendiri yaitu militernya.
Pendekatan liberal fokus pada niat dan karakter dari saingan tetapi perbedaan antara mereka adalah bahwa sementara pendekatan defensif meminimalkan penggunaan kekuatan dan lebih memilih untuk bertindak multilateral, pendekatan liberal ofensif bersedia untuk memaksimalkan penggunaan militer dan ini jauh lebih siap untuk melakukannya secara sepihak.
Saya juga berpendapat bahwa beberapa kondisi sistemik membuatnya lebih mungkin bahwa sebuah strategi besar tertentu akan muncul sebagai salah satu yang dominan. Kondisi ini mengacu pada distribusi kemampuan dan keseimbangan ancaman. Berbagai kombinasi faktor-faktor yang menimbulkan munculnya sebuah strategi besar tertentu.
negara negara yang menggunakan masing-masing strategi tersebut
negara yang menggunakan strategy defense liberalism
1. malaysia, mengapa malaysia bisa saya katakan sebagai negara yang menggunakan strategy defense liberalism. Karena malaysia tidak menggunakan kekuatan militernya untuk menjaga keamanan di dalam negerinya tapi ia menggunakan aliansi yang telah ia buat dengan beberapa negara untuk menjaga keamanan nasionalnya jadi ketika malaysia memiliki musuh yang hendak menyerang maka negara negara yang telah beraliansi dengannya akan membantu untuk menyelesaikan.
2. singapura juga tidak memiliki kekuatan militer yang hebat tetapi karena ia beraliansi dengan negara negara maju atau negara negara adidaya maka ia menjadi disegani oleh negara lain.
3. australia juga sama dengan malaysia dan juga singapura.
negara yang menggunkan strategy offensive liberalism.
1. amerika serikat, mengapa amerika serikat bisa saya katakan sebagai negara yang menggunakan strategy offensive liberalism. Karena amerika merupakan negara adidaya yang mengutamakan kekuatan militernya di dalam setiap permasalahan dengan negara lain. bisa kita lihat sewaktu terjadinya pegeboman terhadap salah satu gedung pencakar langitnya yang kita kenal dengan nama gedung wtc dan setelah beberapa hari setelah kejadian itu amerika lengsung mengirimkan pasukannya ke negara yang dianggap melakukan pengeboman tersebut

MEMAHAMI ‘SECURITY DILEMMA’

Istilah dilemma keamanan biasanya ditemukan dalam pandangan realism. Jika diartikan secara harfiah, kita dapat menemukan definisinya per kata
Security: keamanan
Dilemma: Kesulitan yang dihadapi untuk mengambil satu dari dua pilihan yang mana dua hal tersebut dianggap menentukan.
Jadi dari arti dua kata tersebut, kita dapat memaknai security dilemma sebagai suatu kesulitan yang dihadapi oleh unit-unit tertentu, misalnya negara, dalam mengambil suatu keputusan terhadap masalah keamanan yang sedang dihadapinya.
Menurut John H. Herz, dilemma keamanan itu merupakan susunan sosial yang mana unit-unit kekuasaan (seperti negara, bangsa, atau hubungan internasional) menemukan diri mereka kapan pun mereka selalu bersamaan (saling mendukung) tanpa adanya kekuasaan yang lebih tinggi yang memungkinkan terjadinya pengambilan keuntungan diantara mereka dan sehingga melindungi mereka dari ‘saling serang’.
Di dalam artikel The societal and security dilemma, dinyatakan bahwa dilemma keamanan muncul ketika adanya aksi dari suatu negara untuk meningkatkan keamanan negaranya, namun disatu sisi ini menimbulkan reaksi dari negara lain yang juga ingin meningkatkan keamanannya, yang pada akhirnya reaksi ini menyebabkan penurunan keamanan di negara pertama.
Dilema keamanan dalam politik dunia diartika sebagai pencapaian keamanan personal dan keamanan domestic melalui penciptaan negara selalu disertai oleh kondisi ketidakamanan nasional dan internasional dalam system anarki negara.

PENYEBAB SECURITY DILEMMA
Inti dari penyebab terjadinya security dilemma adalah asumsi-asumsi serta elemen dasar yang berlaku dalam realism. Dalam realism, actor utama dalam poltik dunia adalah negara. Negara itu mempunyai sifat self-help sehingga ini tidak memungkinkan terjadinya kerjasama. Dan negara itu melihat bahwa seluruh negara sebagai musuh potensial yang dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya sehingga menyebabkan dilemma yang mempengaruhi kebijakan luar negeri masing-masing negara.
Selain self-help, negara itu harus berjuang mempertahankan eksistensinya. Hal ini mengacu kepada penyebab kedua terjadinya masalah security dilemma, yaitu system anarki sebagai system internasional. Sistem anarki itu sendiri yaitu system tanpa adanya kekuasaan yang lebih tinggi dan tidak ada pemerintahan dunia. Dalam system pemerintahan internasional yang anarki, semua negara membutuhkan keunggulan power dan keamanan. Negara harus memiliki sarana kekuatan seperti militer, persenjataan, sebagai bukti bahwa negara itu kuat, dan juga sebagai alat pertahanan jika ada ancaman atau serangan dari negara lain. Dengan adanya kekuatan ini, yang mana tujuan utama dari negara dengan keberadaan kekuatan tersebut, yaitu untuk menjaga keamanan dan mempertahankan diri, disisi lain hal ini juga akan memicu rasa khawatir negara lain yang nantinya negara tersebut akan memperkuat militernya. Ini dilakukan karena adanya perasaan terancam dan rasa takut diserang oleh negara lain yang berkekuatan lebih.
Rasa takut akan ancaman tersebut lebih dikenal dengan mutual fear dan ada juga yang disebut juga sebagai mutual suspicious. Mutual suspicious timbul karena kecurigaan satu negara terhadap negara lain yang ingin memperkuat militernya yang bertujuan untuk mempertahankan keamanannya, namun negara lain menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat offensive. Dan inilah yang nantinya disebut dengan defensive, yaitu kekuatan militer untuk niat baik (benign intent) dan offensive sebagai niat buruk (malign intent)

Teori marxis dalam Ilmu Hubungan Internasional

Perang dingin dianggap sebagai awal lahirnya kapitalisme global dan kehancuran marxis. Dimana pada tahun 1980-an dan awal tahun 1990 bubarnya negara Uni Soviet. Hal ini mengakibatkan keraguan terhadap rezim komunis dapat bertahan dalam sistem kesalingtergantungan dan kerja sama masyarakat global yang didominasi oleh negara-negara kapitalisme. Dimana pada saat itu masyarakat menganggap bahwa masa depan dunia ada pada liberal dan kapitalisme. Namun dalam dua dekade kemudian, marxis kembali bangkit dengan dua alasan, yaitu:
1. Para pengikut marxis di uni soviet merasa bahwa mereka diberikan suatu harapan dan janji terhadap kondisi pada saat itu dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam kondisi ini terjadi perpecahan dalam blok uni soviet sehingga mendorong paham marxis menjadi ideologi negeranya.
Sederhanya adalah ketika menyadari bahwa banyak konsep dan praktek yang diambil sebagai aksiomatik marxis, seperti partai pelopor, sentralisme demokratis dan ekonomi komando terpusat.
2. Marxis memiliki suatu kekuatan dalam menganalisis krisis yang terjadi. Dimana pada 1987-1990an kapitalisme global telah mengakibatkan parah kondisi keuangan dunia dan memperburuk kehidupan manusia. Sihingga marxis muncul dengan pandangan yang berbeda. Dimana marxis berpendapat bahwa efek dari kapitalisme global adalah untuk memastikan bahwa kuat dan kaya terus berkembang dengan mengorbankan kekuasaan yang kurang dan miskin.
Teori Marxis ini juga berpendapat bahwa kemakmuran relatif tergantung pada banyaknya kemiskinan, seperti banyaknya kesengsaraan, penderitaan kerja keras, perbudakan, kebodohan, dan kebrutalan.


Marxis mengemukakan sebuah konsep tentang perjuangan kelas yang memainkan peran sentral dalam pembangunan masyarakat, dengan mengemukakan bagaimana pambangunan tersebut dilakukan dari penindasan borjuis kapitalisme menuju sosialis sehingga menciptakan masyarakat tanpa kelas.

Teori marxis dalam politik dunia
Marxis berkembang berawal dari kritik yang diberikan oleh sejumlah pemikir awal abad ke-20an terhadap imperialisme maju. Mereka diantaranya adalah :
• Lenin 1917
Dalam sebuah pamflet yang berisi ”Imperialisme, the Highest Stage of Capitalism”, dia menyatakan bahwa kapitalisme telah mengembangkan sistem monopoli kapitalisme. Dimana mereka mengeksploitasi masyarakat bawah demi kepentingan kaum borjuis. Selain itu, ia juga memunculkan konsep core dan periphery. Dimana dengan berkembangnya konsep ini mengakibatkan tak ada lagi keselarasan kepentingan diantara seluruh pekerja.
Dalam pendekatan World-system terdapat dua elemen penting mengenai politik dunia yaitu:
 Pertama, politik domestik dan internasional bertempat dalam kerangka ekonomi dunia kapitalis
 Kedua, negara bukan satu-satunya aktor penting dalam dunia politik, tetapi kelas sosial juga memainkan peran yang signifikan.
Pendapat lain juga dikembangkan oleh Raul Presbich yang berpendapat bahwa masyarak kelas bawah menderita sebagai akibat dari penurunan perdagangan. Dimana dia menyarankan untuk meningkatkan harga pokok produksi dari bahan baku.

Kunci dari teori sistem dunia Wallerstein
Immanuel Wallerstein menjelaskan tentang bentuk organisasi sosial yang terbagi kedalam dua tipe :
 World-empire
Dimana dalam sistem politik yang terpusat menggunakan kekuasaannya untuk mendistribusikan sumber daya dari daerah periphery ke daerah core atau inti.
 World-economy
Dalam hal ini dilakukan melalui pasar sebagai media dengan banyak pusat kekuasaan yang bersaing satu sama lain.
Wallerstein menambahkan satu zona ekonomi yang dinamakan semi-periphery. Menurutnya, zona memiliki peran pertengahan dalam world system yang menampilkan karakteristik inti dan periphery tertentu. Semi-periphery memainkan peran khusus dalam perekonomian dan politik dalam world system. Juga berperan dalam menstabilkan struktur politik dari world system.
Menurut para teoris world system, ketiga zona tersebut berhubungan satu sama lain dalam hubungan eksploitatif. Dimana konsekuensinya ialah yang kaya makin kaya sedangkan yang miskin menjadi miskin.
World-system theory telah menjadi sub bidang kaji dalam teori marxis dan hubungan internasional. Christopher Chase-Dunn lebih menekankan peran sistem antar Negara daripada Wallerstein. Sementara itu, Frank dan Gills berpendapat bahwa world-system theory yang jauh lebih tua didasarkan pada Timur Tengah.





Gramscianism
Gramscianism mengembangkan teori hegemoni yang mencerminkan konseptualisme kekuasaan. Dia mengembangkan konsep Machiavelli. Gramsci menyatakan bahwa konsep ini telah dikembangkan dalam masyarakat kurang berkembang seperti Rusia pra-evolusi tapi tidak terjadi di negara-negara maju barat. Sistem ini juga dipertahankan oleh Robert W. Cok dengan mengembangkan pendekatan Gransian dengan melakukan kritik atas berlakunya International Relations Theoris dan ekonomi politik internasional.
Salah satu implikasi utama dari ini adalah bahwa tidak ada pemisahan antara fakta dan nilai. Dimana teori pasti membawa nilai-nilai untuk analisis. Cox menyarankan bahwa kita perlu untuk melihat secara dekat teori-teori, ide-ide, analisis yang mengklaim secara objektif atau nilai-bebas, dan bertanya siapa atau apa itu, dan apa tujuan dilakukannya?
Cox adalah subyek realisme, dan khususnya kontemporer variannya neo-realisme. Menurut cox, teori ini adalah untuk melayani kepentingan orang-orang yang makmur di bawah perintah yang berlaku, yaitu dalam habitat negara-negara berkembang, dan khususnya para elit yang berkuasa. Cox menerapkan konsep hegemoni gramsci kedalam ruang lingkup internasional dengan berargumen bahwa hegemoni adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan stabilitas dan keberlangsungan seperti halnya dalam level domestik. Ex : dua hegemon AS dan Inggris tentang perdagangan bebas.
Teori Kritis
Tanpa diragukan lagi, banyak tumpang tindih antara teori kritis dan pendekatan gramscian dalam mempelajari politik dunia. Seperti kita lihat dalam bagian sebelumnya, Robert cox W. mengacu pada pendekatannya sendiri yang menyatakan gramscian dipengaruhi sebagai teori kritis.


Selain itu, baik gramscian dan teori kritis berakar di Eropa barat pada tahun 1920-an dan 1930-an dan waktu di mana Marxisme dipaksa untuk berdamai, tidak hanya dengan kegagalan dari serangkaian pemberontakan revolusioner, tetapi juga dengan munculnya fasisme. Namun demikian, ada perbedaan antara mereka. Kontemporer teori kritis dan pemikiran gramscian dalam hubungan internasional menggunakan ide-ide dari para pemikir yang berbeda, dengan perbedaan intelektual. Selain itu juga ada perbedaan jelas dalam fokus antara dua teori ini, dimana gramscian cenderung lebih peduli dengan masalah yang berhubungan dengan ekonomi politik internasional sedangkan teori kritis lebih mengacu pada masyarakat internasional dan keamanan internasional.

Contoh lainnya adalah bahwa teori kritis sangat meragukan, apakah proletariat dalam masyarakat kontemporer tidak sebenarnya mewujudkan potensi pembebas transformasi dengan cara yang Marx telah percaya. Sebaliknya, dengan munculnya budaya massa dan peningkatan komodifikasi unsur, pemikir sekolah Frankfurt berpendapat bahwa kelas pekerja telah cukup diserap oleh sistem dan tidak lagi merupakan ancaman untuk itu.

Nazi , perang pertama dan terakhir

Semasa Adolft Hitler memimpin Jerman Nazi (1933-1945) Jerman adalah salah satu negara dengan militer terkuat di dunia selain Amerika dan Uni Soviet.Jerman lah Negara pertama yang menggunakan mobil lapis baja dalam perang , juga pesawat jet tempur pertama didunia ME-262.




Untung nya bukan Jerman Nazi Negara pertama yang memiliki bom atom.Jika tidak , ideologi Nazi yang egois akan menyebabkan dunia dalam bahaya.




Ga percaya…


Nazi,



atau secara resmi Nasional Sosialisme merujuk pada sebuah ideologi totalitarian Partai Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Kata ini juga merujuk pada kebijakan yang dianut oleh pemerintahan Jerman pada tahun 1933—1945, sebuah periode yang kemudian dikenal sebagai Jerman Nazi. Kata Nazi jadi merupakan singkatan Nasional Sosialisme atau Nationalsozialismus di bahasa Jerman. Sampai hari ini orang-orang yang berhaluan ekstrim kanan dan rasisme sering disebut sebagai Neonazi (neo = "baru" dalam bahasa Yunani).

Partai yang semula bernama Partai Pekerja Jerman (DAP) ini didirikan pada tanggal 5 Januari 1919 oleh Anton Drexler. Hitler kemudian bergabung dengan partai kecil ini pada bulan September 1919 dan menjadi pemimpin propaganda, mengubah nama partai itu (1 April 1920) dan menjadi pemimpin partai pada tanggal 29 Juli 1921.

Nazisme bukanlah sebuah ideologi baru, melainkan sebuah kombinasi dari berbagai ideologi dan kelompok yang memiliki kesamaan pendapat tentang penentangan Perjanjian Versailes dan kebencian terhadap Yahudi dan Komunis yang dipercaya berada di balik perjanjian tersebut.

Dalam periode ini Jerman tumbuh dari negara yang kalah Perang Dunia I hingga menjadi salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Pada saat yang bersamaan juga berlaku politik rasis yang meninggikan bangsa Arya dan merendahkan ras-ras lain.



Terutama bangsa Yahudi didiskriminasi dan dikumpulkan untuk dibunuh di kamp konsentrasi. Selain orang Yahudi kaum Nazi juga mendiskriminasi dan membantai bangsa Gipsi (Roma dan Sinti) serta bangsa Slavia. Jerman Nazi berakhir ketika mereka kalah Perang Dunia II melawan Uni Soviet dan kekuatan Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Sebagai hasil dari kekalahan ini negara Jerman lantas dibagi menjadi Republik Federasi Jerman di barat dan Republik Demokratis Jerman di timur serta wilayahnya di timur sungai Oder dan Neisse diberikan kepada Polandia dan Uni Soviet.


Wilayah taklukan Nazi Jerman
Austria (Maret 1938)
Cekoslowakia
Polandia (September 1939)
Denmark (April 1940)
Norwegia (April 1940)
Belanda (Mei 1940)
Belgia (Mei 1940)
Luksemburg (Mei 1940)
Perancis (Juni 1940)
Yunani (April 1941)
Yugoslavia (April 1941)

beberapa negara di bagian Afrika Utara
sebagian wilayah Uni Soviet/Rusia (tidak berhasil menguasai semua wilayahnya sebelum musim dingin)

Masa pemerintahan



Pada masa pemerintahannya sebelum Perang Dunia II. Hitler memerintah dengan menetapkan pemerataan ekonomi, meningkatkan lapangan pekerjaan dan sarana sarana umum serta proyek-proyek umum. Salah satu sumbangannya dalam dunia otomotif adalah usulannya untuk membuat kendaraan murah yang dijangkau oleh rakyat Jerman yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk mobil Volkswagen (VW).

Pada Juni 1934, di malam yang dikenali sebagai Malam Pisau Panjang (bahasa Jerman: Nacht der langen Messer) Hitler membunuh semua penentangnya dalam partai Nazi yakni Roehm dan para pemimpin SA (Sturm Abteilungen).

Hitler juga menyalahkan komunisme dan Yahudi atas situasi ekonomi yang buruk dan berhasil meraih dukungan militer dengan melaksanakan politik pembangunan peralatan militer Jerman. Hitler menyalahkan, menyerang, dan membunuh orang komunis dan Yahudi karena Hitler memiliki dendam pribadi pada orang - orang komunis dan Yahudi, dendam yang menghantui selama masa hidupnya

Hitler dan Teori Darwin



Teori Darwin telah memasuki benak Hitler, bahkan meresap sampai ke tulang sumsum. Hal ini amat terasa dalam bukunya Mein Kampf (Perjuanganku). Ia menyamakan ras non-Eropa sebagai kera.


Dari dalam dirinya tumbuh 'kekuatan' yang mendapat inspirasi dari teori Darwin bahwa untuk mempertahankan hidup manusia harus bertarung. Ia menerjemahkan impiannya dengan menyerang Austria, Cekoslowakia, Perancis, Rusia, dll. Malah terbersit nafsu menguasai seluruh dunia. Ia mengadopsi konsep egenika yang menjadi dasar pijakan pandangan evolusionis Nazi.

Egenika berarti ‘perbaikan’ ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat. Sehingga menurut teori itu, ras manusia bisa diperbaiki dengan meniru cara bagaimana hewan berkualitas baik dihasilkan melalui perkawinan hewan yang sehat. Sedangkan hewan cacat dan berpenyakit dimusnahkan.







Tak lama setelah berkuasa, Hitler menerapkan teori itu dengan tangan besi. Orang-orang lemah mental, cacat, dan berpenyakit keturunan dikumpulkan dalam ‘pusat sterilisasi’ khusus. Karena dianggap parasit yang mengancam kemurnian rakyat Jerman dan menghambat kemajuan evolusi, maka atas perintah rahasianya, dalam waktu singkat mereka semua dibabat habis.

Masih dalam eforia teori evolusi dan egenika, Nazi menghimbau muda-mudi berambut pirang bermata biru yang diyakini mewakili ras murni Jerman supaya berhubungan seks tanpa harus menikah. Pada 1935, Hitler memerintahkan didirikannya ladang-ladang khusus reproduksi manusia.

Di dalamnya tinggal para wanita muda yang memiliki ras Arya. Para perwira SS (Schutzstaffel) sering mampir ke sana buat mesum dengan dalih egenika. Para bayi yang lahir kemudian disiapkan menjadi prajurit masa depan ‘Imperium Jerman’.

Menurut Charles Darwin, karena ukuran tengkorak manusia membesar saat menaiki tangga evolusi, maka di seluruh Jerman dilakukan pengukuran buat membuktikan tengkorak bangsa Jerman lebih besar dari ras lain. Mereka yang tak sebesar ukuran resmi, begitupun yang gigi, mata, dan rambut di luar kriteria evolusionis langsung dihabisi dan mayatnya dibuang ke sungai rheine atau dikubur secara masal dengan mayat lainnya.

Perang Dunia II dan Kejatuhan



Hitler dan Mussolini, dua orang pemimpin blok Axis pada Perang Dunia II

September 1939, Hitler menyerang Polandia dengan serangan taktik blitzkrieg (serangan darat, udara secara kilat) mencapai kejayaan yang mengejutkan musuh dan jenderalnya sendiri. Serangan terhadap Polandia menyebabkan musuh-musuhnya Inggris dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman, dengan itu dimulailah Perang Dunia II.

Pada masa Perang Dunia II, pihak Inggris dipimpin oleh Sir Winston Churchill yang menggantikan Arthur Neville Chamberlain yang jatuh akibat skandal serbuan Nazi ke Polandia 1939, Perancis yang dipimpin oleh Jendral Gamelin yang saat itu ditunjuk sebagai komando tertinggi sekutu gagal menahan serangan kilat Jerman ke Belgia dan Perancis, Perancis akhirnya dipimpin oleh Jenderal Charles de Gaulle yang memimpin pasukan perlawanan Perancis pada masa Pemerintahan Vichy, serta bantuan Amerika Serikat yang dipimpin Jendral Eisenhower sebagai panglima mandala di Eropa meskipun sebelumnya Amerika Serikat enggan terlibat pada perang yang sebelumnya dianggap sebagai perang Eropa itu.







Setelah lama berperang dan setelah mengalami kekalahan di setiap medan pertempuran, Hitler menyadari bahwa kekalahan sudah tidak dapat dielakkan. Awal kekalahan Hitler adalah saat menggempur Kota Kursk Uni Soviet dengan Operasi Citadel, kekuatan Jerman terdiri dari 800.000 infanteri, 2.700 tank lapis baja, 2.000 pesawat tempur dan dipimpin oleh Jenderal Erich Von Manstein dan Jenderal Walther Models sedangkan kekuatan Uni Soviet terdiri dari 1.300.000 infanteri, 3.600 tank, dan 2.400 pesawat tempur.

Rencana serangan ini telah diketahui secara detail oleh intelejen Uni Soviet yang berada di Switzerland. Stalin pun langsung memerintahkan tentaranya untuk membangun pertahanan kuat di kawasan Kursk. Di pertempuran inilah banyak sekali tank - tank andalan Jerman dan Uni Soviet hancur, diantaranya Tank Tiger, Panther, Elefant (Jerman) dan Tank T-34, SU -152, dan KV -1. Jerman mengalami pukulan mematikan di Stalingrad serta Serangan pukulan sekutu di Normandia dan gagal dalam Ardennes Offensive, yaitu serangan balasan yang dilakukan tentara jerman atau Wehrmacht dan beberapa divisi panzer yang masih tersisa dipimpin Jenderal Mantauffel pada saat musim salju untuk merebut kembali Kota Antwerp di Belgia.

Serangan ini berlangsung secara terseok - seok dan berakhir gagal karena kurangnya pasokan logistik dan bahan bakar untuk Panzer dari Jerman sehingga banyak panzer yang masih "Fresh from the Oven" seperti tank Tiger dan Panther teronggok di pinggir jalan karena kehabisan solar.
Hitler yang menyadari kejatuhannya sudah dekat kemudian mengawini wanita simpanannya Eva Braun, kemudian bunuh diri bersama-sama pada 30 April 1945.

Jasadnya dibakar agar tidak jatuh ke tangan musuh,dan setelah kematian Hitler beberapa hari kemudian akhirnya jerman menyerah terhadap pihak rusia dan sekutu. Setelah Perang Dunia 2 berakhir, Jerman dibagi menjadi 2 wilayah, yaitu Jerman Barat yang berada pada kekuasaan sekutu dan Jerman Timur yang berada pada kekuasan Uni Soviet. Hal ini terjadi akibat Perang Dingin. Tetapi pada akhir abad ke-20 kedua wilayah Jerman yang terpisah ini akhirnya bersatu kembali, setelah runtuhnya dan dihancurkannya Tembok Berlin

SEJARAH PERANG DINGIN

Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947—1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang,seperti…
koalisi militer; ideologi, industri, pengembangan teknologi; pertahanan , perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi.



Ketegangan antara blok timur dan barat ini juga berdampak pada Negara-negara lain didunia.Perang Korea, invasi Soviet terhadap Hungaria,Afganistan dan Cekoslovakia dan Perang Vietnam. Hasil dari Perang Dingin termasuk (dari beberapa sudut pandang) kediktatoran di Yunani dan Amerika Selatan. Krisis Rudal Kuba juga adalah akibat dari Perang Dingin dan Krisis Timur Tengah juga telah menjadi lebih kompleks akibat Perang Dingin. Dampak lainnya adalah terbaginya Jerman menjadi dua bagian yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur yang dipisahkan oleh Tembok Berlin.

Latar belakang

Setelah Perang Dunia II berakhir, muncul beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Peristiwa-peristiwa itu antara lain yaitu

Pertama,
Amerika Serikat muncul sebagai salah satu negara pemenang perang di pihak Sekutu. Peran Amerika Serikat sangat besar membantu negara-negara Eropa Barat untuk memperbaiki kehidupan perekonomiannya setelah Perang Dunia II.

Kedua,
Uni Soviet juga muncul sebagai negara besar pemenang perang dan berperan membangun perekonomian negara-negara Eropa Timur.



Ketiga,
munculnya negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II di wilayah Eropa. Perang Dunia II yang berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu tidak terlepas dari peran Uni Soviet, Uni Soviet membebaska Eropa Timur dari tangan Jerman. Sambil membebaskan Eropa Timur dari tangan Jerman, Uni Soviet mempergunakan kesempatan itu untuk meluaskan pengaruhnya, dengan cara mensponsori terjadinya perebutan kekuasaan di berbagai negara Eropa Timur seperti di Bulgaria, Albania, Hongaria, Polandia, Rumania, dan Cekoslowakia, sehingga negara-negara tersebut masuk kedalam pengaruh pemerintahan komunis Uni Soviet.

Amerika Serikat bersama Uni Soviet juga memprakarsai berdirinya PBB pada tahun 1945 bersama dengan kekuatan anti-Fasis lainnya. Namun kemesraan hubungan negara-negara yang tergabung dalam koalisi anti-Fasisme itu tidak bertahan lamam dan semulus yang diharapkan. Pada tahun 1946, Stalin yang mengusung ide “Komunisme Internasional” (Komintern) menuduh Inggris dan Amerika Serikat melancarkan kebijakan-kebijakan internasional yang agresif.
Tuduhan ini dijawab oleh Perdana Menteri Inggris dengan menentang kekuatan yang disebutnya “Komunis Timur”, yang akhirnya membelah sistem perpolitikan internasional menjadi dua.

Periode 1945-1969

Berakhirnya Perang Dunia II telah mengubah perkembangan politik dunia. Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara pemenang perang muncul menjadi kekuatan raksasa. Dua negara tersebut memiliki perbedaan ideologi, Amerika Serikat memiliki ideologi liberal-kapitalis, sedangkan Uni Soviet berideologi sosialis-komunis. Dalam waktu singkat memang pernah terjadi persahabatan diantara keduanya, namun kemudian muncul antagonisme diantara mereka.

Ada dua karakter pada periode ini, Pertama, adanya keprihatinan akan ambisi rivalnya yang menimbulkan pesimisme. Kedua, Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan kekuatan militer yang sangat kuat dan memiliki kemampuan untuk menghancurkan musuhnya dengan senjata atom.

Doktrin Pembendungan Bulan Februari 1946, Stalin memberikan pidato yang berbicara tentang



“tak terhindarnya konflik dengan kekuatan kapitalis. Ia mendesak rakyat Soviet untuk tidak terperdaya dengan
berakhirnya perang yang berarti negara bisa santai. Sebaliknya perlu mengintensifkan usaha memperkuat dan mempertahankan tanah air.

Tidak lama setelah munculnya tulisan George F Kennan, diplomat di Kedubes AS di Uni Soviet, yang memaparkan tentang kefanatikan Uni Soviet, Presiden Harry S Truman mendeklarasikan apa yang kemudian disebut Doktrin Truman. Doktrin ini menggarisbawahi strategi pembendungan politik luar negeri AS sebagai cara untuk menghambat ambisi ekspansionis Uni Soviet.

AS juga merekrut sekutu-sekutunya untuk mewujudkan tujuan itu. Karena menurut teori domino, jika satu negara jatuh maka akan berjatuhanlah negara-negara tetangga lainnya. 2. Lingkungan Pengaruh dan Pembentukan Blok Ketidakmampuan sebuah negara adidaya memelihara ”lingkungan pengaruh” diinterpretasikan sebagai akibat dari program global negara adidaya yang lain. Misalnya ketika Uni Soviet memasuki Eropa Timur, para pemimpin AS menilainya sebagai bagian dari usaha Uni Soviet menaklukan dunia.



Begitu pula ketika AS membentuk Pakta ANZUS pada tahun 1951, para pemimpin Uni Soviet menilainya sebagai bagian dari usaha AS untuk mendominasi dunia. Perebutan lingkungan pengaruh diantara dua negara adidaya ini melahirkan sebuah pola yang bipolar. AS dan sekutunya merupakan satu polar, sedangkan di polar (kutub) yang lain muncul Uni Soviet dengan sekutunya. Amerika Serikat dan sekutunya membentuk Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) yang berdiri pada tanggal 4 April 1949 di Washington, AS.

Apabila salah satu anggota NATO diserang, maka serangan itu dianggap sebagai serangan terhadap NATO. Di pihak lain, Uni Soviet dan sekutunya membentuk Pakta Warsawa (Warsawa Pact) pada tanggal 14 Mei 1955 di Praha-Cekoslowakia atas dasar ”Pact of Mutual Assistance and Unified Command”. Di berbagai kawasan pun muncul blok-blok yang memihak salah satu negara adidaya, di Asia Tenggara dibentuk South East Asia Treaty Organization (SEATO) pada tanggal 8 September 1954 di Manila, Philipina .

SEATO ditujukan untuk menahan pengaruh komunis di Asia Tenggara, khususnya di Vietnam. Sebagai salah satu organisasi yang berdiri di Asia Tenggara, negara-negara utama di Asia Tenggara malah tidak diikutsertakan di SEATO, anggota-anggotanya yang utama justru negara-negara Blok Barat yang dipimpin oleh AS.

Di kawasan Timur Tengah juga dibentuk Organisasi Pertahanan Timur Tengah (Middle Eastern Treaty Organization/METO). Sedangkan Uni Soviet juga menjalin kerjasama dengan RRC pada tahun 1950 untuk menghadapi kemungkinan agresi Jepang sebagai negara di bawah kendali AS. Serta pembentukan Cominform (The Communist Information Bureau) di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1947.

Di sisi lain, kegiatan spionase juga turut mewarnai Perang Dingin. KGB (Komitet Gusudarstvennoy Bezopasnosti), dinas rahasia Uni Soviet, dan CIA (Central Intelligence Agency), dinas rahasia AS selalu berusaha untuk memperoleh informasi rahasia mengenai segala hal yang menyangkut negara-negara yang berada di bawah pengaruh kedua belah pihak serta informasi-informasi sensitif mengenai lawannya sendiri.

Periode 1969-1979

Hubungan Amerika Serikat-Uni Soviet mengalami perubahan drastis dengan terpilihnya Richard Nixon sebagai Presiden AS. Didampingi penasehat keamanannya, Henry A. Kissinger, Richard Nixon menempuh pendekatan baru terhadap Uni Soviet pada tahun 1969. Tidak disangka, ternyata Uni Soviet juga sedang mengambil pendekatan yang sama terhadap AS. Pendekatan ini lazim disebut détente (peredaan ketegangan).

Sebagai sebuah strategi politik luar negeri, détente dijelaskan Kissinger sebagai upaya menciptakan ”kepentingan tertentu dalam kerjasama dan perbatasan, sebuah lingkungan dimana kompetitor dapat meregulasi dan menghambat perbedaan diantara mereka dan akhirnya melangkah dari kompetisi menuju kerjasama”. Sebagai langkah lebih lanjit, pada 26 Mei 1972 Presiden Richard Nixon dan Leonid Brezhnev menandatangani Strategic Arms Limitation Treaty I (SALT I) di Moskow. SALT I berisi kesepakatan untuk membatasi persediaan senjata-senjata nuklir strategis/Defensive Antiballistic Missile System.

SALT I juga berisi kesepakatan untuk membatasi jumlah misil nuklir yang dimiliki oleh kedua belah pihak, sehingga Uni Soviet hanya diijinkan untuk memiliki misil maksimal 1600 misil, dan AS hanya diijinkan memiliki 1054 misil.

Periode 1979-1985

Setelah 10 tahun dijalankan, tampaknya Uni Soviet tidak kuat lagi untuk menjalani détente. Akhirnya pada tahun 1979 Uni Soviet pun menduduki Afghanistan yang sebenarnya mengundang pasukan Uni Soviet masuk kesana untuk membantu mereka. Aksi semena-mena ini mengundang reaksi keras dari pihak AS, Presiden AS Jimmy Carter menyatakan, agresi Uni Soviet di Afghanistan mengkonfrontasi dunia dengan tantangan strategis paling serius sejak Perang Dingin dimulai.



Lalu akhirnya muncullah Doktrin Carter yang menyatakan bahwa AS berkeinginan untuk menggunakan kekuatan militernya di Teluk Persia. Setelah Reagan mengambil alih jabatan presiden, ia juga melancarkan Doktrin Reagan yang mendukung pemberontakan anti-komunis di Afghanistan, Angola, dan Nikaragua. Para pemberontak ini bahkan diberi istilah halus ”pejuang kemerdekaan” (freedom fighters). Bahkan AS juga berbicara tentang kemampuan nuklirnya, termasuk ancaman serangan pertama.

Tapi walaupun di periode ini terjadi ketegangan yang memuncak antara AS dan Uni Soviet, ternyata masih bisa terjadi perjanjian SALT II (Strategic Arms Limitation Treaty II) pada pertengahan 1979 di Vienna. Pada saat itu Carter dan Brezhnev setuju untuk membatasi kepemilikan peluncur senjata nuklir maksimal 2400 unit, dan maksimal 1320 unit Multiple Independently Targeted Reentry Vehicle (MIRV) .

Dan juga Perjanjian Pengurangan Senjata-senjata Strategis (Strategic Arms Reduction Treaty/START) pada tahun 1982 yang berisi kesepakatan untuk memusnahkan senjata nuklir yang berdaya jarak menengah. Walaupun sudah banyak dilakukan perjanjian-perjanjian pembatasan dan/atau pengurangan senjata nuklir, namun berdasarkan data pada tahun 1983 ternyata Uni Soviet memiliki keunggulan yang cukup besar dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Periode 1985-1991

Pada Maret 1985, MG mulai memimpin Uni Soviet. Perubahan secara besar-besaran mulai tampak pada masa ini. Gorbachev berbeda dengan penguasa-penguasa Uni Soviet sebelumnya, pada tahun 1987 ia berkunjung ke AS untuk mendekatkan keduanya kedalam sebuah forum dialog. Bahkan pada tahun 1988, Persetujuan Genewa dicapai dan pada 15 Februari 1989 seluruh tentara Uni Soviet telah mundur dari Afghanistan.

Komitmen Gorbachev semakin terlihat saat Uni Soviet tidak menghanyutkan diri dan mengambil sikap lebih netral dalam Perang Teluk tahun 1990-1991. Bahkan bantuan untuk Kuba yang telah diberikan selama 30 tahun pun dihentikan pada tahun 1991 oleh Gorbachev. Namun kebebasan dan keterbukaan yang dicanangkan oleh Gorbachev menimbulkan reaksi keras dari tokoh-tokoh komunis dalam negeri.

Puncaknya terjadi pada Kudeta 19 Agustus 1991 yang didalangi oleh Marsekal Dimitri Yazow (Menteri Pertahanan), Jenderal Vladamir Kruchkov (Kepala KGB), dan Boris Pugo (Menteri Dalam Negeri). Namun ternyata kudeta itu gagal karena mendapat perlawanan dan penolakan dari rakyat Uni Soviet dibawah pimpinan Boris Yeltsin dan Unit Militer Uni Soviet. Sebagai akibat dari kudeta itu; Latvia, Lithuania, Estonia, Georgia, Maldova memisahkan diri dari Uni Soviet. Latvia, Listhuania dan Estonia sendiri berhasil memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet pada tanggal 6 September 1991.

Akhirnya, Gorbachev mengakui bahwa sistem komunis telah gagal di Uni Soviet. Pada akhir 1991, negara Uni Soviet yang telah berumur 74 tahun itupun runtuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa negara yang sekarang termasuk dalam persemakmuran Uni Soviet (Commonwealth of Independent State/CIS). Bubarnya Uni Soviet ini menandai berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan di pihak AS.. Bubarnya Uni Soviet ini menandai berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan di pihak AS.